Sebenarnya sepanjang minggu yang lalu ada banyak cerita yang layak dipajang di sini. Tapi entah kenapa, saya nggak mood untuk meng-update blog ini. Sepertinya makin banyak kejadian yang bisa diceritakan, makin malas saya untuk menulis -_-;
Hmm, baiklah - tanpa bermaksud mengeluh- toriaezu saya akan mulai cerita saya kali ini dengan satu kata : TSUKARETA!!
Fuuuh!! Cuapeeeek bok!
Jadi hari minggu lalu ceritanya atas shoukai atau perkenalan dari K-san, seorang ibu asal Jepang yang sudah menetap di sini belasan tahun, saya mendapat job menemani tamu dari Jepang. Tamu kali ini 3 orang yang terdiri dari sepasang suami istri (H-san dan H-okusan) dan adik perempuan dari sang suami (H-shachou). Dan tujuan kunjungan mereka ke Jakarta hanya satu: OKAIMONO alias belanja.
Sekitar pukul 9:45 pagi, saya sampai di hotel tempat mereka menginap di daerah Blok M. Sesuai pesan K-san, saya langsung mencoba menghubungi supir mobil sewaan yang akan kami pakai berkeliling hari itu.
Saya: Halo? Pak Y?
Supir :Iya benar.
Saya: Saya Ayu yang hari ini mau antar tamu jepang dari Hotel X. Bapak sekarang sudah dalam perjalanan ke sini?
Supir: Maaf, ya, Mbak dapat nomor saya dari mana?
Saya: Dari K-san
Supir: K-san? Kayaknya dia salah konfirmasi, deh. Saya emang hari ini bawa tamu jepang tapi dari lapangan golf, bukan Hotel X.
Saya: Hah? Jadi yang nganter kita hari ini siapa, dong?
Supir: Wah saya juga nggak tahu Mbak.
Langsung panik lah saya. Gimana ini? Mau nganter tamu tapi nggak ada mobil!! Mana saya nggak tahu apa-apa soal rental mobil itu! Saya diberi tahu kalau tugas saya cuma mengantar saja, sementara masalah transportasi dan tetek bengeknya -seharusnya - sudah diselesaikan oleh M-san, orang Jepang lain yang mengkoordinir trip tamu-tamu tadi.
Awatete, K-san ni me-ru shita. Eh ternyata beliau sedang kebaktian di gereja, jadi saya diminta menghubungi M-san saja.
M-san : Hah? Kok bisa gitu?
Saya: Iya. Pokoknya Pak Y bilang, yang nganter kita hari ini bukan dia. Jadi gimana ya sebaiknya?
Tadinya saya berharap M-san bakal berinisiatif untuk mengkonfirmasi ke pihak rental mobil, atau at least memberi nomor telepon rental tsb untuk saya hubungi sendiri. Tapi ternyata...
M-san: Ya sudah, coba kamu tanya ke hotel aja. Ada mobil yang bisa disewa nggak. Kalau nggak ada, tolong charter taksi aja, deh!
Ya sudah, sesuai perintah, saya tanya ke pihak hotel. Tapi just my luck, they were out of car that day. Mereka malah mengusulkan saya untuk coba menyewa mobil dari hotel sebelah.
Dan tepat di saat itu, ketiga tamu saya tiba di lobi.
Aaaah!! Bagaimana ini!!!!
Sambil mencoba tetap tersenyum (padahal dalam hati sudah panik setengah mati), saya minta maaf dan minta mereka menunggu sebentar karena ada yang harus saya konfirmasi lagi soal mobil sewaan hari itu.
Okyakusama wo omatase shinagara, saya melesat ke hotel sebelah untuk menyewa mobil. But no such luck, ternyata mereka juga sudah kehabisan mobil (T_T). Mungkin kasihan melihat tampang saya yang memelas, satpam mereka yang baik hati berusaha nelpon rental kenalannya untuk menanyakan kalau ada mobil yang bisa disewa, dan bahkan sampai langsung pergi ke rental dekat situ juga untuk mencarikan mobil. Sayangnya, semua itu nggak membuahkan hasil.
As a last resort, saya berusaha men-charter taksi Blue Bird yang banyak mangkal di depan hotel. Sialnya, rata-rata mereka keukeuh harus pakai argo dan ogah disewa seharian dengan tarif borongan. Padahal kalau pakai argo, dengan situasi jalanan kota Jakarta yang kian lama kian nggak masuk akal, bisa-bisa tarifnya nanti jadi membengkak gila-gilaan.
Tapi kemudian dengan bantuan bapak tukang parkir di sekitar situ (yang pastinya membantu dengan pamrih), akhirnya saya berhasil menemukan seorang supir taksi Blue Bird yang mau mobilnya di charter seharian. We agreed on the fixed price of 600 ribu, trus taksi itu saya bawa ke hotel. Sampai di hotel, saya lihat ketiga tamu Jepang saya sudah berkumpul di pelataran parkir. Duh, tambah nggak enak hati saya karena sudah membiarkan mereka menunggu begitu lama. Panik, saya langsung melompat turun dari taksi, menghampiri mereka dan bolak-balik membungkuk minta maaf.
Saya : Aduh, maaf karena nggak dapat mobil, jadinya saya sewa taksi untuk hari ini.
Tamu: Wah, nggak usah! Ternyata supir mobil rental kita sudah nunggu dari tadi di tempat parkir. Itu dia di sana! (menunjuk seorang mas supir yang berdiri santai di samping mobil nggak jauh dari tempat kami berdiri)
GUBRAK!!!!
Jadi dari pagi saya panik, lari-lari ke sana ke mari for nothing??
Oke, capeknya sih saya nggak ngeluh, ya, namanya juga pekerjaan, dan saya dibayar untuk ini. Tapi sumpah saya jadi nggak enak setengah mati sama ketiga tamu saya karena sudah memulai trip mereka dengan kesalah-pahaman yang sebenarnya nggak perlu terjadi seandainya saya konfirmasi dulu sama perusahaan rental instead of jumping to the street looking for another car! *Aho!*
Untungnya ketiga tamu saya pengertian. Bukannya terlihat kesal atau marah, mereka justru tampak prhatin sama saya yang -mungkin- terlihat ngos-ngosan dan panik. Huhuhuuu, maafkan saya ya... maklum, namanya juga guide abal-abal!!
Singkat cerita, setelah melewati insiden kecil tersebut kami pun langsung SHUPPATSU! Berangkat! Capcus!!
Didukung oleh suasana jalanan Jakarta yang cukup bersahabat di hari Minggu, dalam waktu kurang dari 1 jam kami sudah tiba di perhentian pertama kami: Jakarta Gems Center Rawabening, Jatinegara
Waktu si mas supir menyebut tempat ini, tadinya yang ada di bayangan saya adalah sebuah tempat yang menyerupai pasar di Jalan Surabaya dengan toko berderet-deret di sepanjang jalan. Tapi ternyata, dia membawa kami ke sebuah bangunan yang masih terlihat baru dan bersih, mirip-mirip ITC gitu. Begitu masuk, kami langsung menuju ke lantai basement, pusat batu mulia yang menjadi incaran utama para tamu saya kali ini.
Begitu sampai di bawah, kami langsung disambut kesemerawutan ala pasar. Ya, ternyata walau ada di dalam gedung yang bagus, lantai basement gedung tersebut kondisinya tak ubahnya pasar. Panas, ramai, dan penuh toko-toko dan lapak-lapak.
Di sana ada berbagai macam batu seperti mutiara, giok, opal, sapphire, dsb dari berbagai macam tempat di dunia, dari China sampai Afrika. H- Okusan yang penggemar berat batu langsung dengan semangat mengunjungi toko yang ada satu per satu sementara saya mengikuti beliau sambil membantu menjembatani komunikasi dengan pegawai toko dan - tentu saja - menawar harga.
Ngomong-ngomong soal nawar harga... WOW ternyata H-Okusan dan H-Shachou sadis juga bok nawarnya. Hahaha. Sampai ada mas di satu toko yang kelimpungan setengah mati meladeni tawaran maut mereka.
H-Okusan: Udah, ya, pokoknya 300 ribu! (menyodorkan 3 lembar uang 100 ribuan, mengambil gelang di atas kounter dan langsung berbalik hendak meninggalkan toko)
Mas toko : Eh, jangan Cik! (Gak tahu inisiatif dari mana dia manggil ibu-ibu Jepang "Cik"! Dia pikir ibu-ibu Glodok kali?) Beneran nggak bisa! (Panik, langsung menghalangi di depan pintu)
H-Okusan: Udah, deh, 300 ribu! Di Jepang aja ini harganya 500 ribu, masak di sini nggak bisa lebih murah!
Mas Toko : Benaran, cik, itu nggak dimahalin emang segitu harganya. Kan dari 750 ribu udah saya turunin mentok jadi 500 ribu tuh! Jangan, dong, nanti saya dipecat yang punya toko, Cik! (tampang memelas, kelihatan benar-benar khawatir kalau barang dagangannya akan dibawa pergi ke Jepang dengan harga di bawah standar)
Ada mungkin sekitar 30 menitan mereka berdebat "memperebutkan" gelang dengan batu berwarna pink tersebut. Saya yang menerjemahkan perdebatan mereka sebenarnya kasihan juga sama si Mas-nya yang kelihatan mulai putus asa, tapi karena pekerjaan saya menerjemahkan, ya, saya terjemahkan saja apa adanya.
Lalu, akhir dari perdebatan itu?
Hehe, akhirnya H-okusan menyerah. Dia beli juga gelang tersebut dengan harga Rp 500 ribu.
Sampai di luar toko, dia tersenyum lebar sama saya.
H-okusan: Aah, tsukareta!
Saya: (senyum geli) Otsukare sama deshita!
H-okusan : Tahu nggak, batu itu sebenarnya di dunia udah langka karena sumbernya sudah habis.
Saya: Eh, masak? Jadi, kalau di Jepang harganya berapaan?
H-Okusan : Wah, bisa di atas 10 ribu yen (lebih dari 1 juta rupiah). Makanya sebenarnya saya bisa dapat dengan harga segini juga lucky (senyum sumringah). Tapi seru juga, ya nawar-nawar kayak tadi. Sono kakehiki ga omoshiroi no ne!
Haha ada-ada saja! Dia bela-belain ngeluarin energi dan waktu segitu banyak untuk menawar sebuah benda yang harganya motomoto sudah murah, hanya karena merasa "proses tawar menawar itu seru".
:D
Sekitar 2 jam, beberapa toko, dan berkilo-kilogram batu kemudian, kami pun meninggalkan Rawabening dan meluncur ke destinasi kami selanjutnya: ITC Cempaka Mas!
Terus terang, saya yang baru pertama kali ke sana langsung dibuat ternga-nga oleh luas dan ramainya tempat tersebut. Wong waktu mau masuk saja mobil-mobil sampai antre ratusan meter. Di dalam pun, saking ramainya, rasanya kita nggak bisa bergerak selangkah pun tanpa menyenggol orang lain (>_<)
Uwaa. Konna toko nigate da... to omoinagara, atas nama profesionalisme (uhuk) saya tetap tersenyum dan berusaha mengantar tamu-tamu saya mengelilingi lantai demi lantai di sana.
Di tengah-tengah acara belanja, tiba-tiba...
H-Shachou : Eh, jins mu bagus, deh! Kakkoi! Pasti merek mahal ya
Saya: (memandangi jins murah yang saya beli di FO bandung). Ah, nggak ini nggak bermerek kok, harganya juga cuma 140 ribu!
H-Shachou : EH? Beli di mana? Saya lagi nyari jins nih, saya pingin beli yang kayak punya kamu.
Mendapat request seperti itu, saya pun mengantar mereka ke beberapa toko jins demi menemukan sepasang celana jins yang mirip dengan yang saya pakai. Sayangnya, sudah beberapa toko kami masuki, kami tak kunjung menemukan jins yang dicari. Aah, memang kalau mau nyari jins paling mantap di Bandung, sih! Sudah murah, kualitas OK pula (bayangin aja, jins 140 ribu sampai disangka jins merek terkenal lho! Ahaha, nggak percuma waktu itu saya bela-belaiin ke FO Heritage di Bandung cuma buat beli jins.). Lain kali kalau mereka ke Indonesia lagi, mereka harus dibawa mampir ke Bandung nih!
Walau nggak berhasil menemukan jins seperti punya saya, H-Shachou dan H-okusan nampaknya tak bisa menahan diri untuk nggak membeli ketika menemukan jins yang harganya 95 ribu. Kata mereka, "Di uniqlo jins paling murah 2000 yen! Kore wa kattokanai to!"
H-san yang tadinya bilang, "Iranai iranai!" pun dipaksa sang istri membeli sepasang jins merek Boss yang dibanderol dengan harga Rp 210 ribu (harga awalnya Rp 250 ribu, tapi saya tawar dan mentok di harga itu. Nggak tahu itu sudah murah atau belum, yang jelas kalau tahu yang beli orang asing, pedagang di sana pasti akan buka harga lebih tinggi dan susah untuk ditawar murah, ikura ganbattemo... :( )
Sekitar 5 jam kami berputar-putar di pusat perbelanjaan itu, memasuki toko demi toko, belanja gorden (!), blus, kalung, dan lain sebagainya. Walau suasananya ramai, semrawut dan gerah karena AC yang bekerja kurang maksimal, kelihatannya ketiga tamu saya sangat menikmati kunjungan mereka ke sana. Mungkin bagi mereka ini adalah pengalaman berbelanja seperti ini adalah sesuatu yang "otentik", yang tidak bisa ditemukan di Jepang.
Dan itulah yang terpenting buat saya, melihat tamu saya menikmati kunjungan mereka dan tersenyum puas di akhir perjalanan kami.
Fuuh. Honto ni mijuku na gaido datta kedo, sukoshi demo yaku ni tateta nara ureshii na! :)
0 comments:
Post a Comment