February 1, 2015

January 25, 2015

Sunday Lunch at Shirokuma Cafe Gandaria City

Setiap selesai gereja hari Minggu di Gandaria City,  seringnya dalam keadaan kelaparan dan kedinginan - pertanyaan yang selalu terlontar adalah "Mau makan siang di mana?" Biasanya, sih, ujung-ujungnya kami berakhir di Sushi-tei yang murah meriah dan mengenyangkan. Tapi hari ini, karena penasaran sama satu cafe yang belum lama buka cabang di Gancit, tanpa pikir panjang, kami meluncur ke lantai UG tempat cafe itu berada. 


Shirokuma Cafe



January 22, 2015

Menunggu Hujan Reda di Djournal Coffee Bar

Sebenarnya minggu ini saya bertekad nggak akan pergi ke mana-mana. Saya mau mengurung diri di kamar untuk menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk (you know, the risk of being a procrastinator). Tapi, karena harus pergi ke ATM dan belanja beberapa benda di supermarket, pagi ini terpaksa saya menyeret kaki ke Citos di tengah hujan gerimis. 

Setelah menyelesaikan semua urusan dan siap pulang, tahu-tahu rintik gerimis sudah berubah jadi guyuran deras. I weighed my options. Kalau nekad pulang hanya dengan diteduhi payung lipat imut saya, sudah bisa dipastikan saya bakal basah kuyup. Belum lagi saya harus melewati jalanan yang pasti penuh kubangan di mana-mana. Doable, tapi sepertinya bukan pilihan bijaksana. Pulang naik taksi? Dengan jarak Citos ke rumah yang cuma beberapa ratus meter, kemungkinan supir taksinya bakal membanting pintu mentah-mentah di depan muka saya. 

Akhirnya, saya memutuskan mencari tempat untuk duduk menunggu hujan reda.  

Biasanya kalau lagi mau duduk-duduk iseng sendirian di Citos, toko roti Tous Les Jours akan jadi pilihan pertama saya. But since today I wasn't in a bakery kind of mood, I went to Djournal Coffee Bar instead.

Sebenarnya sudah beberapa kali saya pergi ke kedai kopi besutan Ismaya Group ini, tapi baru 2 jenis kopi-nya yang sudah saya coba : caramel macchiato (kopi standar pilihan saya di kedai kopi manapun yang menyediakan) dan salted caramel latte. Dua-duanya enak dan nggak neko-neko, makanya saya selalu kembali ke kedua minuman itu lagi tanpa pernah berani berpetualang dengan minuman mereka yang lain. Dan kali ini pun saya kembali memilih caramel macchiato tanpa pikir panjang. Tapi kalau biasanya saya pilih yang iced, kali ini, menyesuaikan dengan cuaca, pilih yang hot. Lalu, untuk pelengkap kopi (karena buat saya kopi tanpa camilan itu bagai sayur tanpa garam), saya pesan sepotong Lola Bar, one of their recommended cakes from Colette & Lola. 

Hot Caramel Macchiato (43 K) & Lola Bar (35 K)
Karena bayar pakai kartu kredit Niaga, saya dapat diskon 15 % untuk cake-nya. Harusnya, untuk minuman saya juga dapat free upsize, tapi sayang sepertinya mereka cuma punya satu ukuran cangkir untuk yang hot. I felt cheated somehow... :(
The Lola Bar was good, by the way.  Tadinya saya pikir cake ini bakal manis banget, tapi ternyata manis caramel butterscotch-nya bisa diimbangi dengan pas sama pahit cokelatnya. Yummy!

carame
Untungnya saya bawa laptop dan materi terjemahan, jadi sambil menunggu saya bisa kerja. Untungnya lagi, Djournal Coffee menyediakan wifi gratis yang koneksinya lumayan cepat. Bikin tambah betah nongkrong di sini lama-lama
Yang saya suka dari Djournal Coffee ini - seperti semua restoran milik ismaya group - adalah dekorasi dan interiornya yang menarik. Juga banyak mural (?) dengan catchy phrases di dindingnya. Lucu buat foto-foto.





Satu lagi yang jadi nilai plus dari tempat ini adalah ada smoking area yang completely separated dari non smoking area, jadi nggak perlu khawatir terganggu asap rokok nyasar.

"The other side"
Area merokok yang terpisah di balik dinding kaca
Kira-kira 1 jam saya duduk di sini, ( berusaha ) menyelesaikan kerjaan sambil sesekali menyeruput kopi yang sudah lama mendingin (satu keluhan saya adalah kopinya dari awal kurang panas, jadi baru sebentar sudah dingin). Waktu menoleh keluar, ternyata hujan sudah mulai reda. Saya pun memutuskan untuk segera pulang sebelum hujan lebat mengguyur lagi.

Keputusan tepat, karena tak lama setelah saya menginjakkan kaki di rumah, it started to pour again.

Saatnya melanjutkan tidur  pekerjaan yang tertunda.

January 15, 2015

Mid-week Brunch at Monolog Coffee

Hari Senin, out of the blue, saya merasa ingin ketemuan sama teman-teman. So, I sent a message on our line group dan -seperti biasa- yang merespon cuma 2 regular hangout buddies saya; L & N. Maka, janjianlah kami untuk brunch hari Rabu di PIM. Kenapa harus brunch? Maybe because the word "brunch" sounds cool. But mostly just because we can. Yup, salah satu keuntungan dari tidak bekerja kantoran 9 to 5 adalah bebas mau sneak out ke mana pun dan kapan pun saya mau - selama keadaan dompet mengizinkan. Jadi sementara kebanyakan orang cuma bisa brunch di akhir pekan, we had the luxury of enjoying a mid-week brunch, di saat mall dan kafe-kafe sedang sepi & tenang, as opposed to the weekends.

Hari Rabu, untuk mengantisipasi kemacetan, saya sudah berangkat dari rumah jam 10 pagi. Eh nggak tahunya, jalanan kosong, dan saya sudah sampai di PIM jam setengah 11 kurang. Yeah, Jakarta's unpredictable traffic...  you're either late or early, it's almost impossible to arrive just on time. Karena baru janjian jam 11, terpaksa saya keliling PIM sendirian untuk membunuh waktu.

Setelah keluar masuk toko tanpa tujuan, saya mengecek jam tangan. Jam 11 kurang 10. Time to check up on my brunch companions, they should be arriving soon. So I lined them. Nggak lama, ada jawaban dari N; sudah dekat PIM, sebentar lagi sampai. Good. Berarti tinggal si L. 5 menit nggak ada jawaban. 6 menit, 7 menit. Jam 11 kurang 1 menit, masuk Line dari L.

"Eh hari ini jadi ya? Gue baru mau mandi"

WHAAATT!?

Well I guess I shouldn't have been surprised. Ini L. Kami sudah berteman dari SMP (which is a long long time ago) dan dia tipe anak yang baru sampai sekolah 5 menit sebelum bel masuk lalu celingak celinguk heran lihat anak sekelas nyalin PR atau baca buku catatan dan bertanya dengan polosnya "Emang ada PR ya? " atau "Ada ulangan apa?"

Ya, jadi memang harusnya saya sudah maklum sama kelakuan teman saya yang satu ini. Justru mungkin saya sendiri yang salah karena datang terlalu pagi...  padahal sudah tahu janjian sama siapa :P

Nggak lama kemudian N pun sampai. Sadar nggak ada gunanya kesal sama kawan tercinta kami, we shrugged it off, saying "Namanya juga L" dan memutuskan untuk lanjut dengan rencana brunch kami. Kalau nunggu L datang baru makan, namanya bukan brunch lagi, tapi lunch. And it just doesn't sound as cool.  Jadi kami melangkah ke Street Gallery AKA PIM 3 untuk mencari tempat makan yang OK. Dan pilihan kami pun jatuh pada Monolog Coffee.

Ketika kami tiba, cafe itu nggak begitu ramai. Nyaris kosong, malah. Pas untuk duduk-duduk makan pagi menjelang siang sambil mengobrol santai. 


Kami memilih tempat duduk di pinggir jendela. I love their huge windows! They let in plenty of sunshine; ideal buat pengunjung yang hobi foto-foto. Dengan terangnya sinar matahari, bahkan orang dengan kamera handphone tua seperti saya pun bisa menghasilkan foto yang cukup instagram (or at least blog) - worthy.



Setelah melihat menu beberapa saat, kami memilih menu dari all day breakfast section. I had the eggs bennedict while N chose the omelette set.

Monolog's Eggs Benedict (IDR 80K nett) & Regular Iced Tea (IDR 28 K)
Tadinya saya sempat ragu melihat warna saus hollandaise-nya yang terlalu pekat dan lebih mendekati oranye daripada kuning seperti normalnya saus hollandaise yang saya tahu. Tapi setelah dicoba, ternyata rasanya enak juga. Porsinya pun cukup bikin kenyang. My only complaint is the vinaigrette dressing on the salad, way too much vinegar!!! Rasa & aromanya jadi terlalu asam dan menjijikkan, almost inedible for me.

Omelette set ( IDR 82K nett) pesanan N di belakang. 
Saya lupa tanya gimana rasanya, tapi melihat bagaimana dia menyantap semuanya sampai habis tanpa keluhan apa-apa, I assume it was good, or decent at least.

Sambil menikmati makanan, kami mengobrol ngalor ngidul; tentang hal-hal kecil di keseharian kami, tentang topik-topik berita nasional yang lagi hangat, tentang Jupe dan kanker serviksnya... you know,  the usual small talks... Tanpa terasa, makanan di piring sudah hampir habis tersantap, jam pun sudah hampir menunjukkan pukul 12 siang. Still no sign of L. Sampai akhirnya, tepat ketika saya akan menyuapkan potongan english muffin dan ham terakhir ke mulut saya, muncullah dia! 

Halleluyah! She made it! right in time for... lunch

xD

Tapi ujung-ujungnya, L nggak pesan makan, sih. Dia cuma pesan minuman bernama "Green Detox" (IDR 48K nett). Yang datang kemudian adalah segelas jus berwarna hijau pekat yang agak tidak membangkitkan selera. Tapi L bilang enak. She let me took a sip, and it was actually quite good. Rasanya segar, kinda lemony, dan - ditilik dari warna dan namanya - I assume it was healthy too. 

Setelah L menghabiskan minumannya, kami sepakat untuk menyudahi acara almost-lunch-kind-of-brunch kami untuk lanjut ke agenda selanjutnya : jalan-jalan-di-mall-sambil-lirik-kiri-kanan-siapa tahu-ada-benda-bertanda-diskon-yang-menarik-untuk-dibeli. 

Waktu waitress membawa bill ke meja kami, saya menyadari satu hal yang menarik: di Monolog, semua harga yang tertulis di menunya adalah harga NETT tanpa embel-embel tambahan PPN 10% atau service charge lagi. God, how I wish semua restoran di Indo seperti itu! Apa mereka nggak tahu gimana repotnya kalau  makan rame-rame lalu pas tagihan datang harus menghitung harga makanan masing-masing plus hitungan pajak & service charge yang ditulis di ujung bawah bill!? 

Kalau bisa dibuat praktis seperti di Monolog ini kenapa harus dibuat ribet sih? 


December 31, 2014

Things I'm Grateful For This Year

So here they are, in no particular order:

1. I got to visit Japan again after 4 long years

Sepuas-puasnya dengan hidup saya di Jakarta saat ini, saya harus mengakui bahwa terkadang saya sangat kangen dengan Jepang. Dan akhirnya setelah menabung bertahun-tahun dengan perjuangan penuh darah dan air mata, dan beberapa other overseas trips in between,  berhasil juga saya menjejakkan kaki lagi di Negeri Sakura itu, terutama satu kota yang akan selalu punya tempat khusus di hati saya: Osaka! Meski cuma short visit selama 9 hari, rasanya cukup untuk mengobati kerinduan saya terhadap makanan, atmosfer, dan orang-orang di negeri itu. Uang belasan juta yang habis untuk pergi ke sana pun terasa sepadan. Money and time well spent, I'd say!

2. Got myself a credit card and somehow managed not to get myself trapped in debt!

This may sound silly to some, but this is actually kind of a big thing for me. Semakin tua, saya menyadari, pengeluaran pun kian bertambah, mulai dari tagihan-tagihan wajib (asuransi, internet bills, etc), sampai pengeluaran berbau hedonisme macam liburan & nongkrong di cafe cantik for the sole purpose of posting di instagram. Memiliki kartu kredit tadinya saya pikir berpotensi menyeret saya jatuh ke lembah hutang. I've seen so many people going down that road, and I must say it didn't look pleasant at all. That's why I was so hesitant of having one. Tapi untungnya sampai detik ini hal itu tidak terjadi pada saya. Self control, I've learned, is the key, and I'm proud to say, I've been able to do exactly that 'til the last day of 2014. Even yesterday when I went to the mall and fell in love with some cute tops that were on a massive year end sale! I managed to look the other way and wen't home with nothing but the things I REALLY needed ... and the image of those tops lingering in my mind even until now... kira-kira sale-nya sampai kapan, ya. Hmm...

3. I'm finally in college again!

Meski "cuma" di Universitas Terbuka (note: this is a fully accredited national university, BUKAN UNIVERSITAS ABAL-ABAL) I'm FINALLY on my way to getting my bachelor's degree. Kalau semua berjalan lancar, mudah-mudahan 2-2,5 tahun lagi saya sudah bisa menyandang gelar Sarjana; sesuatu yang harusnya sudah bisa saya dapatkan sekitar 5 -6 tahun lalu seandainya saya nggak keras kepala dan terlalu banyak melakukan detour akibat keputusan-keputusan bodoh... Tapi, better late than never, kan?

4. I realized there are so many things that I should be grateful for, but above all, I'm just grateful that I got to survive the year and live to see another year.

Tragedi AirAsia QZ8501 yang terjadi di penghujung tahun membuat saya merenungkan banyak hal. Penumpang pesawat itu, saya bayangkan, kebanyakan berpikir bisa menghabiskan libur akhir tahun yang menyenangkan bersama keluarga dan teman-teman, berpikir hal yang mereka rencanakan itu sudah ada tepat di depan mata untuk terwujud, until the unthinkable happened.

Hidup itu nggak pasti and we should cherish every moment, never taking it for granted.


With that in mind, I'm going to take a shower and get ready for a new year's eve of solitude;  contemplating on life while watching Forever marathon, save and sound in my bed.

See you 2015!

December 24, 2014

An Un-Christmasy Post : Deg-degan Belanja Di Lazada

Saya ini termasuk avid online shopper, sudah banyak sekali online shop lokal yang saya jajal, mulai dari situs belanja elektronik sampai grocery shopping. Di antara sekian banyak situs belanja online yang saya coba, LAZADA.co.id masuk dalam jajaran favorit saya. Beberapa kali saya belanja di sana, layanannya selalu memuaskan; pesan hari ini, langsung dikonfirmasi, dan paling lambat 2 hari kemudian barang sudah diantar oleh kurir internal mereka. Progress status pesanan pun bisa terus dipantau melalui situsnya. Pokoknya kesan saya : professional & reliable. Bahkan saya sudah berulang kali mengungkapkan puja puji tentang lazada pada keluarga & teman-teman saya. That's how much I trusted Lazada.

Sampai terjadilah "insiden" kali ini.

Semua berawal dari Harbolnas (hari belanja online nasional) tanggal 12/12 kemarin. Tergiur iming-iming diskon besar-besaran, saya iseng membuka situs Lazada; siapa tahu ada produk yang menarik hati. Setelah browsing sana-sini, saya menemukan laptop ASUS x200ma sedang didiskon dari harga awal 3.499.000 jadi 3.199.000. Penawaran yang cukup menarik, apalagi memang sudah beberapa bulan ini saya mencari laptop pengganti acer aspire saya yang umurnya sudah nyaris 5 tahun. Meski sempat galau  karena belum pernah belanja barang semahal ini di Lazada, akhirnya saya memutuskan memasukkan item tersebut ke keranjang belanja dan melanjutkan ke proses pembayaran. Saya pikir, toh, Lazada menyediakan fasilitas COD, jadi saya nggak akan rugi apa-apa. Sayangnya, waktu sampai di halaman pembayaran, opsi COD nggak bisa saya pilih meski di halaman produknya tadi ada tulisan "tersedia COD". Ternyata oh ternyata, COD di Lazada sekarang cuma bisa untuk belanja dengan nilai di bawah 3 juta! 

Bingunglah saya. Lanjut, atau mundur teratur?

Tapi, seperti yang saya sebutkan di awal, pengalaman baik dalam berbelanja di Lazada sebelumnya membuat saya memiliki rasa percaya yang besar pada situs belanja satu ini. Sambil meyakinkan diri, "Ini Lazada, bukan situs abal-abal. Selama ini juga lancar-lancar aja!" saya memilih melanjutkan pembayaran dengan kartu kredit.

Beberapa klik kemudian, transaksi selesai dilakukan. 

Dan dimulailah hari-hari penantian tanpa kepastian itu.

Tanggal 12 malam, pesanan saya langsung terkonfirmasi. Tanggal 13, pesanan disiapkan di warehouse. Tanggal 14, saya mendapat notifikasi kalau pesanan telah dikirim melalui Pandu Logistics.

Pandu Logistics? Perusahaan pengiriman mana ini?! Saya nggak pernah dengar. Kok bukan pakai kurir internal mereka seperti biasa? Atau minimal pakai JNE!

Mulai parno, sejuta pertanyaan berkecamuk di pikiran saya. Tapi saya berusaha sabar dan berpikir positif bahwa meski bukan pakai kurir internal, mitra pengiriman pilihan Lazada pasti nggak kalah profesional. 

Tanggal 15, saya coba cek status kiriman saya di situs Pandu Logistics sesuai nomor resi yang diberikan Lazada. Hasilnya? Layar kosong, nggak tampil apa-apa. Tapi saya masih belum  mau berprasangka buruk. Mungkin datanya belum sempat di-input ke sistem Pandu Logistics. Wajar lah kalau cuma telat-telat sehari.

Tanggal 16, coba tracking lagi, hasilnya sama. Saya mulai curiga. Saya coba telepon ke Pandu Logistics dan mendapat jawaban bahwa data tidak ditemukan dalam sistem mereka. Bingung, saya coba menanyakan hal ini pada CS Lazada via live chat (karena teleponnya susah sekali dihubungi). Jawaban mereka begitu standar tanpa solusi : nomor resi sudah benar, barang sudah ada pada pihak pandu logistics, dan saya diminta sabar saja menunggu.

Tanggal 17, ketika saya tracking di situs Pandu dan masih juga menemukan layar kosong, I completely freaked out! Masak iya, sudah 3 hari barang dikirim, datanya belum terdaftar juga!? Kesal luar biasa, saya telepon lagi pihak Pandu, dan jawaban mereka malah membuat saya tambah kesal, "Mohon maaf Ibu, untuk kiriman dari Lazada, saat ini kami sangat overload." Jadi intinya, jangankan untuk memastikan kapan barang saya akan dikirim, kapan kiriman saya itu akan dibongkar dan dicatat dalam sistem saja, mereka tidak tahu! Dan dengan mudahnya, mereka memakai alasan "OVERLOAD" untuk memaksa pelanggan maklum!

Tanggal 18, masih belum ada kemajuan apa-apa di halaman tracking Pandu Logistics! Langsung saya protes ke Lazada lewat live-chat, dan jawabannya kira-kira seperti ini: "Mohon maaf, dikarenakan antusiasme pelanggan yang luar biasa pada harbolnas 12/12, pengiriman barang akan mengalami keterlambatan."

Wow! So now they blame "the customer's overwhelming enthusiasm" for their own inability to deliver the goods as promised! 

Buat saya, ini alasan yang sangat tidak dapat diterima. Dari awal waktu mereka merencanakan berpartisipasi di sale besar-besaran Harbolnas ini, harusnya mereka sudah bisa memprediksi dan mengantisipasi bahwa peminatnya PASTI akan membeludak. Apalagi menjelang Natal & akhir tahun begini! Jadi harusnya sebelum mulai obral gede-gedean, mereka pastikan dulu kapasitas layanan mereka DAN SEMUA MITRA PENGIRIMANNYA; sanggup nggak kirim barang sesuai janji di awal? Jangan sampai pelanggan yang dirugikan dan "dipaksa" maklum, dong. Seperti barang saya yang awalnya dijanjikan akan dikirim dengan perkiraan waktu 1-3 hari, ternyata setelah 4 hari - jangankan sampai- dicatat oleh pihak kurirnya pun belum!!

Kecewa berat dan merasa tidak bisa menerima penjelasan CS lewat live-chat tadi, saya memutuskan kirim e-mail ke Lazada. Setengah memaksa, saya bilang saja ini barang saya pesan untuk hadiah natal (which was not entirely a lie, because it was sort of a christmas present for myself) jadi saya butuh secepatnya.

Tanggal 19. Siang hari, waktu saya  tracking lagi di situs Pandu, PUJI TUHAN, paket saya sudah terdaftar di sana dengan status pengiriman "dalam proses". Entah apa ini akibat desakan saya yang menggebu-gebu pada pihak Lazada & Pandu atau cuma kebetulan. Yang penting saya bisa sedikit bernapas lega karena -untuk sekarang- paket saya jelas keberadaan dan statusnya.

Tanggal 20, status masih sama. I let it slide.

Tanggal 21, nggak ada perubahan juga. Saya telepon Pandu dan mendapat jawaban yang mulai terdengar seperti rekaman kaset rusak, "Kiriman dari Lazada sangat overload, kami tidak bisa memastikan kapan akan dikirim".

I thought to myself, enough is enough. Saya nggak bisa menunggu lebih lama lagi sementara laptop saya dibiarkan mengendap di gudang mereka sampai entah kapan bersama dengan ribuan paket lain. With the level of professionalism they've been demonstrating, siapa yang bisa jamin paket saya nggak akan terselip lalu hilang entah ke mana kalau terlalu lama nyangkut di sana? Akhirnya, saya bilang ke Mbak-nya, "Mbak, kalau saya ambil saja paketnya ke sana bisa nggak?". Jawab Mbaknya, "Bisa Bu, tapi paketnya harus dicari dulu ada di mana, dan hari Minggu orang operasionalnya libur. Jadi Ibu telepon aja lagi hari Senin untuk konfirmasi."

Hari Senin, tanggal 22, datang e-mail (sepertinya otomatis) dari Lazada menanyakan apakah pesanan sudah diterima atau belum. Setelah saya klik, "belum", saya dibawa ke halaman yang menyatakan "kami mohon maaf dan akan berusaha agar pesanan Anda dikirim secepatnya." Well, saya sudah capek dengar permohonan maaf ala kadarnya seperti itu, so I decided to take matters into my own hands. Langsung saya telepon Pandu lagi, saya tanya bisa tidak saya ambil barangnya ke sana, kalau tidak hari itu ya besoknya. Mereka bilang bisa dan saya diminta datang ke head office mereka di Klender untuk menemui Mbak Winda (orang Pandu yang mengurusi kiriman Lazada, beberapa kali saya coba hubungi langsung ke orangnya sesuai nomor yang diberikan CS Pandu, tapi selalu sibuk).

Ternyata hari itu saya nggak bisa pergi, jadi saya merencanakan pergi besoknya saja.

EH, tanpa diduga-duga, sorenya, Kurir Pandu nongol di depan pintu rumah. AKHIRNYA KIRIMAN SAYA DIANTAR JUGA!!! Setelah 1 minggu lebih 1 hari!!

*sujud sukur"

Saya nggak tahu, apakah itu karena mereka sudah capek saya telepon dan desak terus-terusan, atau mereka diminta Lazada yang juga sudah jengah diprotes terus, atau kebetulan memang barang saya akan dikirim hari itu. Yang jelas, Laptop ASUS sampai di tangan saya dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun dan bisa bekerja dengan baik.

Tapi, meski akhirnya barang saya terima dengan baik,  tetap saja pengalaman belanja kali ini meninggalkan sedikit trauma. Tahu peribahasa, "Karena nila setitik rusak susu sebelanga"? Itulah yang terjadi pada saya; sekian banyak pengalaman baik saya belanja di Lazada langsung rusak gara-gara satu pengalaman mengecewakan ini.

Lalu, apakah saya masih mau belanja di Lazada?
Mungkin iya, tapi HANYA untuk barang-barang di bawah 3 juta yang bisa COD dan TIDAK waktu program diskon besar-besaran, apalagi di "masa-masa rawan overload" seperti menjelang hari raya dan akhir tahun.

Untuk belanja elektronik dan sejenisnya, mulai sekarang saya nggak akan malas lagi keluar rumah untuk belanja di toko fisiknya langsung. Lebih baik keluar ongkos dan repot sedikit daripada harus deg-degan berhari-hari hanya demi hemat 100-200 ribu. Dan satu lagi pelajaran yang saya dapatkan; kalau sampai ada masalah dengan pengiriman barang, jangan pernah ragu untuk terus mendesak pertanggung jawaban dan minta barang kita segera dikirim. E-mail, telepon tiap hari kalau perlu!

Untuk Lazada, sebagai pelanggan setia, saya mohon kalian meningkatkan kualitas layanan, terutama koordinasi dengan mitra pengiriman agar bisa mengirim pesanan sesuai waktu yang dijanjikan.

Untuk Pandu Logistics, thanks for the precious lesson; kalau ada pilihan, JANGAN PERNAH PAKAI JASA PENGIRIMAN YANG SATU INI.




Merry Christmas!
Dengan tulus saya doakan semoga semua orang yang memesan barang di Lazada pada Harbolnas 12.12 sudah menerima barang pesanannya dengan selamat. 

November 16, 2014

Pulau Dewata - Part 3 : Membabi di Bali!

Lanjutan dari Day-2, 14 Oktober

Tiba di pantai Sanur, kami naik taksi menuju penginapan kami, Wantilan Lama. Hotel ini terletak di Jalan Batu Tamblingan 75a, Komplek Batu Jimbar, Sanur, sebuah kompleks perumahan di tepi pantai Sanur yang terdiri dari vila-vila eksklusif...  

Yes, you heard me right, "exclusive"

Meski biasanya turis kelas backpacker macam saya nggak akan sanggup - ataupun rela - merogoh kocek dalam-dalam untuk menginap di tempat dengan embel-embel "eksklusif", kali ini berkat Echa dengan jaringan koneksinya yang luas, saya bisa mencicipi nyamannya tinggal di private villa dengan harga teramat sangat istimewa. Karena iming-iming itu lah, saya langsung membatalkan reservasi hotel kami di Legian. Kapan lagi bisa menginap di akomodasi eksklusif dengan harga ala backpacker? :)

Our 2 bedrooms Pond Villa
Outdoor shower
Fear not, di dalam villa ada 2 kamar mandi lengkap dengan shower indoor juga :)
Open air living room di pinggir kolam ikan, asyik buat duduk-duduk di pagi atau sore hari.
Di belakang living area ini juga ada dapur lengkap dengan segala peralatan memasaknya.
Area taman. Asri dan cantik, tapi kalau malam agak seram karena pencahayaannya minim.

Seperti yang bisa dilihat di gambar, the place was simply beautiful! Stafnya juga ramah-ramah dan selalu siap membantu. Kalau ada satu hal yang harus saya keluhkan, mungkin lokasinya. Bukan apa-apa, masalahnya kebanyakan kegiatan kami berpusat di area Kuta, agak jauh dari Sanur, jadinya banyak habis waktu di jalan. Tapi kalau untuk keluarga atau pasangan honeymoon yang memang  mau santai-santai di villa atau sekedar keliling area Sanur, sih, vila ini highly recommended! Mau cari makan pun nggak sulit, karena begitu melangkah keluar dari Kompleks Perumahan Batu Jimbar, kita langsung disambut deretan restoran dan kafe yang menawarkan aneka menu, dari makanan tradisional Bali sampai European fine dining. 

Malam itu kami sepakat mau makan seafood. Dan setelah sempat berjalan tanpa tujuan, bingung memilih restoran, akhirnya kami menjatuhkan pilihan pada some random restaurant di seberang perumahan batu jimbar. Saking random-nya, saya bahkan nggak ingat apa nama restorannya. Pokoknya di papan menu ada tulisan seafood-nya. 

From memory I recall we ordered mahi mahi fish, king prawn and squid. All tasted pretty good, but expensive for the tiny portions that we got. Kalau nggak salah, di sana kita masing-masing menghabiskan  Rp 120 ribuan hanya untuk satu porsi kecil seafood  yang kurang mengenyangkan dan segelas lemon tea. I guess that's what you get when you randomly enter a restaurant without checking the reviews first.

After the -not-so-satisfying-dinner, we walked to Hardy's Department Store to buy some night snacks and  drinks. We ended up getting a couple of bags of chips and one bottle of Balinese Red Wine (it was cheap! like 150K / bottle, I just couldn't help myself). Then, on the way back to the hotel, we stopped by at Gelato Secrets, right besides Hardy's.

Malam itu, saya mencoba rasa salted caramel di Gelato Secrets dan, terus terang, saya agak gagal paham bagaimana gerai es krim ini bisa dapat begitu banyak ulasan bagus, bahkan Certificate of Excellence di tripadvisor. Buat saya gelato ini rasanya biasa saja, dan - yang paling  bikin kecewa - cepat sekali meleleh; baru dibawa jalan 5 menit saja, rasanya sudah seperti makan sup es krim. Pokoknya nggak sepadan dengan harganya yang dibanderol 25k untuk satu scoop kecil.

-Bersambung, as usual -

October 25, 2014

Pulau Dewata - Part 2: Jelajah Nusa Lembongan dan Ceningan

Day 2, 14 Oktober

Satu "penyakit" saya kalau lagi liburan adalah tidak bisa bangun siang! Agak menyebalkan, karena sudah pemahaman umum bahwa liburan adalah saatnya untuk bermalas-malasan,  tidur sampai puas. Dan penyakit ini kembali menyerang saya di Lembongan pagi itu. Entah kenapa , pukul 6 mata saya sudah terbuka lebar dan tak mau terpejam lagi. Nggak tahu mau ngapain, akhirnya saya memutuskan pergi ke luar, dan ketika membuka pintu balkon saya langsung disapa oleh pemandangan yang membuat saya mensyukuri penyakit ini,  for once .
Damainya pagi di Jungut Batu.  
Sayang, kamera saku dan hape tua saya nggak cukup handal untuk menangkap keindahan pemandangan di depan mata saya ketika itu sepenuhnya. 
Pukul 7, teman saya mulai bangun satu per satu. Rampung mandi dan beres-beres, kami menuju restoran hotel di bawah untuk sarapan yang sudah termasuk dalam room rate. Setelah itu, kami sempat jalan-jalan pagi sebentar, menikmati suasana pagi di Jungut Batu sebelum check out dari hotel.




Habis check out, kami langsung tancap gas. Kendaraan kami kali ini adalah 2 motor sewaan; 1 motor sewaan hari sebelumnya dan satu motor yang kami sewa pagi itu dari seorang bapak-bapak penjaga toko dekat hotel yang memberikan harga 60 ribu (dari harga awal 80 ribu) untuk sewa motor sampai pukul 3 sore.
Peta Nusa Lembongan - Nusa Ceningan
Tujuan pertama kami hari itu adalah mangrove forest. Di sana kami sudah janjian dengan seorang warga lokal bernama Pak Juni untuk melakukan mangrove tour jam 10 pagi. Nomor kontak Pak Juni (082144536765) kami temukan dari rekomendasi beberapa blog di internet. Sepertinya beliau memang sudah cukup ngetop di antara pelancong domestik yang ingin melakukan mangrove tour di Nusa Lembongan. Selain orangnya ramah dan cukup informatif saat memberikan tur, harga yang dia berikan juga cukup masuk akal untuk ukuran Lembongan di mana semua harga sepertinya sudah dikatrol menyesuaikan dengan standar bule. Kami mendapat harga 100 ribu berempat untuk tour mangrove selama 20 menit dengan perahu kecil yang dikenal juga sebagai jukung.

Oh iya, sekedar tips, kalau menghubungi Pak Juni, langsung telepon saja, jangan SMS karena si Bapak bilang nggak bisa SMS-an ^^



Kalau kepo sama tampang Pak Juni, itu orangnya di belakang :)

Selesai tur mangrove, kami melanjutkan perjalanan menuju jembatan kuning yang menghubungkan Nusa Lembongan dengan Nusa Ceningan. Perjalanan ke sana, meski tak seberapa jauh, ternyata tak semudah dibayangkan, terutama buat Lidya yang masih super newbie dalam hal permotoran. Medan yang tidak bersahabat untuk pemula dengan jalan-jalan berlubang dan tanjakan/turunan curam membuat kami sedikit sport jantung. Saya yang dibonceng hanya bisa berdoa tak henti-hentinya agar kami selamat sampai tujuan... Semoga keinginan saya menghemat uang dengan memaksa Lidya bawa motor nggak harus dibayar dengan keselamatan kami (>.<)

Untungnya, doa itu dikabulkan. Sekitar setengah jam kemudian, jembatan kuning tujuan kami tampak di depan mata. Dengan semangat, kami pun menyeberang ke Nusa Ceningan.
The Yellow Bridge
Menyeberanginya menjadi tantangan tersendiri karena lantai kayunya yang berderik-derik ketika kita melintas cukup membuat deg-degan untuk pembawa motor pemula -dan orang yang diboncengnya.

Sampai di Ceningan, first thing first; SELFIE!
Selat Ceningan
*Bersambung*

Oke, setelah berminggu-minggu, saatnya melanjutkan cerita yang terputus sebelum saya terlanjur lupa semuanya - just as a future reference for myself.

Jadi, dari jembatan kuning, niat kami melipir ke laguna biru alias Blue Lagoon. Tapi setelah perjalanan +/- 15 menit melalui jalan-jalan berliku, berlubang, naik turun undakan terjal, dan satu kali insiden di mana motor saya dan Lidya terjungkal di tanjakan curam sampai harus dibantu penduduk setempat untuk naik (><), we found ourselves stranded in another beach instead, Secret Point Beach.



As the name suggests, "secret point" ini sepertinya memang bukan pantai umum. Tapi, sama seperti di Dream Beach, kami belagak bodoh saja, numpang lewat halaman belakang Secret Point Huts, mengabaikan tatapan kurang merestui dari orang-orang hotel (Sorry Bli!)


Waktu kami tiba siang itu, pantai kecil ini benar-benar sepi dari pengunjung. Indah dan tenang, rasanya seperti pantai milik kami sendiri! (kalau kita mengabaikan tatapan menghujam orang hotel di punggung kita...)
Sayang, terik matahari yang begitu sadis dan keterbatasan waktu membuat kami tak bisa berlama-lama. Habis leyeh-leyeh sebentar, kami memutuskan langsung kembali ke Nusa Lembongan untuk mencari makan siang.

Maka kembalilah kami menaiki motor, melewati perkampungan petani rumput laut, menikmati pemandangan laut biru yang cantik di sepanjang jalan, daaan sempat jatuh *lagi* waktu menyeberang jembatan kuning (kali ini tanpa ada yang membantu. Special shout-out buat Lidya, si wanita perkasa yang -walau jatuh bangun-berhasil membawa kami bolak balik dengan selamat tanpa kekurangan satu bagian tubuh pun :D).

Random view di Nusa Ceningan dari atas motor
Common view di Nusa Lembongan & Ceningan; hamparan rumput laut yang dijemur.
Budidaya rumput laut merupakan mata pencaharian utama penduduk kedua pulau ini- selain bisnis pariwisata yang bertumbuh pesat, tentunya
Kembali di Nusa Lembongan, karena masih penasaran kami mencoba mendatangi warung Bumbu Maria lagi. Tapi, mungkin memang nggak jodoh, lagi-lagi kami menemukan tanda "CLOSED" terpasang di depan pintunya. Kecewa, terpaksa kami cari tempat lain untuk mengisi perut. Akhirnya, pilihan kami jatuh pada "BALI ECO DELI" yang namanya saya ingat disebut sebagai one of Nusa Lembongan's top 10 restaurants di Tripadvisor.

Sesuai tagline-nya, "Healthy food and drinks in paradise", tempat ini menyajikan makanan yang 100 % sehat & organik. Saya sih tidak keberatan makan makanan sehat every once and a while, tapi begitu membuka menu dan menemukan bahwa makanan paling "berat" yang tersedia adalah SALAD (dalam beragam variasi), kami tahu bahwa kami harus mencari tempat lain untuk memenuhi tuntutan cacing-cacing carnivora di dalam perut. Jadi, di sini kami hanya memesan jus & smoothies. Saya sendiri memilih tropical smoothies (30K) plus sepotong brownies (20K).


Dan di luar dugaan, satu gelas smoothies dan sepotong brownies ini sudah cukup mengenyangkan buat saya! Akhirnya, waktu 3 teman saya memutuskan bergeser ke Warung Made di sebelah untuk "makan betulan", saya hanya numpang duduk & minum.

[Review lengkap saya tentang Bali Eco Deli bisa dibaca di TRIPADVISOR]

Habis makan, karena sudah kepanasan, kelelahan, dan tidak punya banyak waktu lagi, kami kembali ke hotel untuk menunggu pick up service dari Sugriwa Express sambil menikmati pemandangan "SANTORINI Ala Ala Bali" untuk terakhir kalinya.



Sekitar pukul 3 lewat kami sudah dijemput dan dibawa ke kantor Sugriwa Express untuk menunggu boat yang akan membawa kami kembali ke Pulau Bali.


Pukul 16:00, saatnya mengucapkan selamat tinggal pada Nusa Lembongan. Fastboat kami perlahan bergerak menjauhi bibir pantai, menandai dimulainya kembali 30 menit perjalanan mengarungi laut yang penuh guncangan dan cipratan air.

Pulau Dewata, here we come!!

October 19, 2014

Pulau Dewata - Part 1: Menginjak Nusa Lembongan

Sebenarnya, setelah perjalanan ke Jepang akhir Juni - awal Juli lalu, saya bertekad untuk tidak pergi ke mana-mana lagi sisa tahun ini. Ya, sehemat-hematnya mengatur budget, perjalanan ke negeri sakura selama 9 hari itu memang cukup menguras tabungan. Jadi demi kesehatan finansial dan tekad menabung untuk ultimate goal saya; Euro trip, saya berencana untuk anteng saja di Jakarta sampai tahun depan.

Namun, rencana tinggal rencana…

Ketika teman saya Echa mendadak mengajak liburan ke Bali, mulut saya dengan cepat mengatakan “Ayo!” sebelum otak sempat mengirimkan sinyal berhenti. I just couldn’t help myself. Godaan untuk keluar dari sesaknya keseharian di kota Jakarta terlalu kuat untuk dilawan.

Nah, kebetulan, sebelum ada ajakan dari Echa, saya dan teman-teman di sini sudah sempat membicarakan soal liburan bareng ke pulau di sebelah tenggara Bali, Nusa Lembongan. Saya pikir, daripada berangkat 2 kali ke Bali, lebih baik 2 trip itu digabung saja sekalian. Jadi, saya usul ke Echa untuk memasukkan 1 malam di Nusa Lembongan ke dalam itinerary kami. Setelah Echa setuju, saya coba menyinggung rencana perjalanan ini ke teman-teman di sini. Dan gayung bersambut, Lidya dan Negis tertarik. Jadi, diputuskanlah untuk pergi berempat ke Pulau Dewata!

Perjalanan kami pada 13 Oktober lalu berawal dengan penerbangan Airasia pukul 08:45 pagi yang - tumben-tumbenan- berangkat 100% tepat waktu dari Bandara Soekarno Hatta. Penerbangan selama 1 jam 40 menit berjalan mulus, nyaris tanpa kejadian istimewa, kecuali ketika tiba-tiba, out of nowhere, muncul dua orang pria (sepertinya crew airasia yang sedang off duty) yang mulai menyanyi dengan iringan gitar di bagian depan kabin layaknya pengamen di bus kota. Oke, mungkin ini maksudnya sejenis in flight entertainment. Niatnya patut dihargai, tapi lain kali mungkin mereka bisa menampilkan someone who can actually sing... just a suggestion :D

Anyway, akhirnya kami tiba di bandara Ngurah Rai, Bali! 
Sempat pangling saya waktu menjejakkan kaki ke area kedatangannya. Yang masih melekat di ingatan saya adalah bandara tua nan usang seperti yang terakhir kali saya lihat tahun 2009. Tapi ternyata setelah proses renovasi dan reopening awal tahun ini, Bandara Ngurah Rai sekarang jadi jauh lebih keren, layak disebut bandara internasional. Good job Angkasa Pura! Jadi iri. Kapan ya giliran Jakarta…

Oke, dari Ngurah Rai, kami meluncur ke tempat penyeberangan di Sanur. Perjalanan melalui tol Mandara tidak memakan waktu lama, kurang lebih 30 menit kami sudah tiba di pantai Sanur yang dipenuhi kantor-kantor penyedia jasa penyeberangan ke Nusa Lembongan. Berdasarkan hasil online research sebelumnya, kami langsung mengarah ke kantor Sugriwa Express. Di sana kami dapat harga Rp 75 ribu sekali jalan untuk fastboat ke Nusa Lembongan. Itu harga "lokal indonesia". Kalau "lokal bali", harganya lebih murah : Rp 50 ribu. Sedangkan turis bule harganya berlipat-lipat, kalau tidak salah sekitar 550 rb pp (!) Yep, that's Bali!
Fastboat Sugriwa Express

Sesuai Jadwal, fastboat kami meninggalkan Sanur pukul 13:30. Oh iya sebelum naik kapal, semua penumpang diminta melepas alas kaki untuk dikumpulkan dalam satu keranjang. Mungkin supaya kebersihan di dalam kabin tetap terjaga. Selain itu, semua koper / tas besar juga dikumpulkan dan diangkut staff sampai ke dalam kapal. Jadi tidak perlu takut ribet kalau bawa koper yang agak besar sekalipun.


Foto di atas diambil waktu kita baru mulai duduk di dalam boat. Semua masih ceria, semangat foto-foto... sampai boat mulai bergerak meninggalkan bibir pantai dan diombang-ambingkan ombak tinggi. Jangankan foto-foto, sekedar menikmati pemandangan laut biru di luar pun rasanya sudah nggak sanggup. Apalagi, dengan polosnya kami memilih tempat duduk di deretan depan. Aduh, perut seperti dikocok-kocok. Rasanya semacam naik wahana jet coaster mini di taman hiburan, tapi dengan durasi 30 menit. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya saya melirik jam, berharap setengah jam cepat berlalu, sambil terus mencengkeram erat life vest yang dimasukkan di saku kursi depan... you know, just in case... (>.<)

Puji Tuhan, sekitar 30 menit kemudian, kami tiba di Pantai Jungut Batu, Nusa Lembongan dengan selamat. Dan ajaibnya, tidak ada yang mabuk laut sepanjang perjalanan, not even me! :D
Dari pantai, kami diarahkan ke kantor Sugriwa Express di dekat sana untuk menunggu mobil yang akan membawa kami dan penumpang lain ke penginapan masing-masing. Tak lama menunggu, diantarlah kami ke penginapan kami untuk malam itu : Lembongan Reef Bungalow.

Lembongan Reef Bungalow ini kamarnya berupa vila-vila di atas bukit, semakin besar nomor vilanya, semakin jauh kita harus mendaki anak tangga. Kebetulan kami memesan family room kapasitas 4 orang dan mendapat villa nomor 7, jadi kami harus memanjat naik lumayan tinggi. Tapi melihat pemandangan dari balkon kamar kami, semua kepenatan terbayar tuntas. 

Surga membentang di depan mata!
Vila-vila di Lembongan Reef Bungalow
Habis menaruh barang dan menghela napas sebentar, kami tak membuang-buang waktu untuk mulai menjelajah pulau. Di resepsionis, kami bertanya moda transportasi apa yang bisa kami pakai. Mas di sana menyarankan menyewa sepeda motor karena menyewa mobil terlalu mahal (800 ribu / hari!!). Nah susahnya kalau pakai motor, di antara kami berempat cuma Echa yang bisa bawa motor. Akhirnya setelah bingung-bingung kami memutuskan untuk menyewa satu motor dan 2 ojek. Mas resepsionis pun mengatur penyewaan motor dan ojek itu. Masalah kemudian adalah harga. Untuk motor kami mendapat harga 100 ribu untuk 24 jam beserta bensinnya (yang kemudian baru kami tahu kalau seharusnya masih bisa ditawar lagi, terutama kalau kita menyewa dari luar hotel). Tapi untuk ojeknya, mereka meminta harga 150 ribu per motor hanya untuk ke 2 spot saja!! Setelah proses tawar menawar yang alot, mereka cuma mau turun sampai harga 100 ribu per motor... karena merasa tidak ada pilihan lain,  dan capek berdebat lebih jauh, akhirnya kami menyerah. (lagi-lagi baru kemudian kami sadar bahwa kita bisa mendapat harga jauh lebih murah dari orang-orang di pinggir jalan, bukan melalui hotel).

Spot pertama yang kami tuju adalah Warung Bumbu Maria, yang di tripadvisor disebut sebagai warung terbaik di Nusa Lembongan. Tapi sedihnya, sudah jauh-jauh (dan mahal-mahal menyewa ojek), waktu tiba di sana ternyata warungnya tutup. Ya sudah, dengan menelan kecewa, terpaksa kami lanjut ke spot berikutnya : Dream Beach. 

Perjalanan dari Warung Maria ke Dream Beach tidak terlampau jauh (biarpun mas ojeknya berkeras bayar 100 ribu itu murah karena lokasinya "dari ujung ke ujung", pada dasarnya Nusa Lembongan itu sendiri memang tidak terlalu besar, jadi "dari ujung ke ujung" nya mereka pun paling cuma beberapa kilometer. Malah saya menyaksikan sendiri ada bule yang bisa keliling pulau berjalan kaki! That's how small the island is, meski saya sendiri nggak akan pernah mempertimbangkan jalan kaki berkilo-kilo meter di bawah terik matahari yang begitu menusuk.).

Di perjalanan kami sempat melewati Panorama Point dengan pemandangannya yang indah.
Panorama Point, d iambil dari atas ojek yang melaju kencang


This is how we roll in the island!
Notice we didn't wear helmets! Bukan karena nggak mau, tapi memang nggak disediakan :(
DO NOT TRY THIS AT HOME!
Tak lama, kami tiba di Dream Beach. Meski ini sebenarnya pantai umum, akses masuk ke pantai tersebut cuma ada 1, yaitu melalui kafe di sana. Entah apakah seharusnya kami memesan minum di sana sekedar untuk "biaya lewat" atau tidak, tapi kami memutuskan untuk bermuka tebal dan numpang lewat begitu saja, mengacuhkan tatapan staf kafe, langsung menuju pantai.



Kafe yang kami lalui untuk masuk ke area pantai
Area pantai dream beach memang tidak besar, tapi tempatnya sepi (mungkin juga karena kemarin sedang low season), pasirnya putih, dan airnya jernih mengundang. Menyenangkan untuk duduk berlama-lama memandangi ombak di bawah bayangan batu karang besar yang menghalangi sengatan matahari.





Puas bermain-main di pantai, kami  berjalan kaki ke destinasi selanjutnya tak jauh dari sana, Devil's Tear.




Ombak tinggi berderu-deru menghantam tebing karang. Dahsyat! Kalau lihat foto-foto di instagram, sepertinya kita bisa mendapat foto spektakuler dengan berdiri atau duduk di tepi tebing, berlatar deburan ombak. Tapi karena saya tidak bisa berenang dan parno melihat tingginya ombak, saya memilih  berdiri di jarak aman dan foto-foto dari jauh saja. Safety first, right?! O

Sambil istirahat di dekat Devil's Tear, kami sempat mendiskusikan soal transportasi hari berikutnya. Kalau hari ini untuk 2 spot saja kami harus bayar 100 rb / ojek, bagaimana besok kalau mau jalan-jalan seharian? Kemudian, entah bagaimana, Echa dapat ilham; kita suruh Lidya belajar naik motor supaya besok tinggal sewa motor! Jadilah Lidya langsung kursus kilat naik motor dari Echa di sana saat itu juga. Mungkin memang dasarnya bakat nyetir (?), tidak berapa lama, Lidya sudah bisa mengendarai motor meski masih sedikit oleng dan ragu-ragu... But that's good enough for us, daripada bayar ojek mahal-mahal.  Kita anggap Lidya sudah bisa naik motor, besok tinggal sewa motor dan saya dibonceng. Done deal! Apparently, in this case, money beats safety :D 

Selesai di Devil's Tear, kami telepon tukang ojek yang tadi untuk minta dijemput kembali ke daerah penginapan kami di Jungut Batu. Meski katanya sunset di Dream Beach cukup mengagumkan, kami memilih mengejar sunset sambil duduk-duduk cantik di The Deck, tak jauh dari Lembongan Reef Bungalow.




Pesanan kami; pizza margherita dan 2 cocktails yang sedang harga spesial Happy Hour, selain itu juga ada 2 jus pesanan Echa & Negis. Harga di tempat ini memang tergolong mahal, tapi layak untuk sekedar mencari pengganjal perut sambil duduk-duduk menikmati suasana dan pemandangan.
Cocktail : 100K. This breathtaking view: priceless!
Ketika pesanan kami habis tersantap, semburat merah sudah mewarnai langit. Matahari perlahan menghilang di balik garis laut. Perut pun mulai keroncongan. Memang, sepotong pizza margherita dan satu gelas cocktail tidak mungkin mengenyangkan. Jadi, setelah "makan pencitraan"  ini, kami beranjak pergi mencari makan yang mengenyangkan dengan harga yang lebih bersahabat. 

Maka, berjalanlah kami menyusuri pantai Jungut Batu. 


Senja di pantai Jungut Batu

Hingga tibalah kami di warung kecil bernama Warung Meal House 99 

Warung with a view

Sembari menikmati sisa-sisa senja, kami menyantap nasi campur dan babi sayur di warung tersebut sebagai makan malam. Rasanya -meski nggak istimewa- cukup memuaskan, harganya terjangkau (untuk ukuran warung di Lembongan di mana semua harga sepertinya disesuaikan dengan standar turis asing), plus dapat bonus pemandangan senja yang cantik. I really can't complain.

Selesai makan, langit sudah benar-benar gelap. Perut kenyang, badan pun sudah lengket oleh keringat dan udara laut yang bergaram, we decided to call it a day. Saatnya kembali ke hotel untuk beristirahat. 

*Review saya tentang hotel Lembongan Reef Bungalow yang sedikit mengecewakan karena masalah pendingin ruangan yang tidak bekerja bisa dilihat di tripadvisor