February 1, 2015
January 25, 2015
Sunday Lunch at Shirokuma Cafe Gandaria City
Setiap selesai gereja hari Minggu di Gandaria City, seringnya dalam keadaan kelaparan dan kedinginan - pertanyaan yang selalu terlontar adalah "Mau makan siang di mana?" Biasanya, sih, ujung-ujungnya kami berakhir di Sushi-tei yang murah meriah dan mengenyangkan. Tapi hari ini, karena penasaran sama satu cafe yang belum lama buka cabang di Gancit, tanpa pikir panjang, kami meluncur ke lantai UG tempat cafe itu berada.
Shirokuma Cafe
January 22, 2015
Menunggu Hujan Reda di Djournal Coffee Bar
Sebenarnya minggu ini saya bertekad nggak akan pergi ke mana-mana. Saya mau mengurung diri di kamar untuk menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk (you know, the risk of being a procrastinator). Tapi, karena harus pergi ke ATM dan belanja beberapa benda di supermarket, pagi ini terpaksa saya menyeret kaki ke Citos di tengah hujan gerimis.
Setelah menyelesaikan semua urusan dan siap pulang, tahu-tahu rintik gerimis sudah berubah jadi guyuran deras. I weighed my options. Kalau nekad pulang hanya dengan diteduhi payung lipat imut saya, sudah bisa dipastikan saya bakal basah kuyup. Belum lagi saya harus melewati jalanan yang pasti penuh kubangan di mana-mana. Doable, tapi sepertinya bukan pilihan bijaksana. Pulang naik taksi? Dengan jarak Citos ke rumah yang cuma beberapa ratus meter, kemungkinan supir taksinya bakal membanting pintu mentah-mentah di depan muka saya.
Akhirnya, saya memutuskan mencari tempat untuk duduk menunggu hujan reda.
Biasanya kalau lagi mau duduk-duduk iseng sendirian di Citos, toko roti Tous Les Jours akan jadi pilihan pertama saya. But since today I wasn't in a bakery kind of mood, I went to Djournal Coffee Bar instead.
Sebenarnya sudah beberapa kali saya pergi ke kedai kopi besutan Ismaya Group ini, tapi baru 2 jenis kopi-nya yang sudah saya coba : caramel macchiato (kopi standar pilihan saya di kedai kopi manapun yang menyediakan) dan salted caramel latte. Dua-duanya enak dan nggak neko-neko, makanya saya selalu kembali ke kedua minuman itu lagi tanpa pernah berani berpetualang dengan minuman mereka yang lain. Dan kali ini pun saya kembali memilih caramel macchiato tanpa pikir panjang. Tapi kalau biasanya saya pilih yang iced, kali ini, menyesuaikan dengan cuaca, pilih yang hot. Lalu, untuk pelengkap kopi (karena buat saya kopi tanpa camilan itu bagai sayur tanpa garam), saya pesan sepotong Lola Bar, one of their recommended cakes from Colette & Lola.
Yang saya suka dari Djournal Coffee ini - seperti semua restoran milik ismaya group - adalah dekorasi dan interiornya yang menarik. Juga banyak mural (?) dengan catchy phrases di dindingnya. Lucu buat foto-foto.
Satu lagi yang jadi nilai plus dari tempat ini adalah ada smoking area yang completely separated dari non smoking area, jadi nggak perlu khawatir terganggu asap rokok nyasar.
"The other side" Area merokok yang terpisah di balik dinding kaca |
Kira-kira 1 jam saya duduk di sini, ( berusaha ) menyelesaikan kerjaan sambil sesekali menyeruput kopi yang sudah lama mendingin (satu keluhan saya adalah kopinya dari awal kurang panas, jadi baru sebentar sudah dingin). Waktu menoleh keluar, ternyata hujan sudah mulai reda. Saya pun memutuskan untuk segera pulang sebelum hujan lebat mengguyur lagi.
Keputusan tepat, karena tak lama setelah saya menginjakkan kaki di rumah, it started to pour again.
Saatnya melanjutkan
January 15, 2015
Mid-week Brunch at Monolog Coffee
Hari Senin, out of the blue, saya merasa ingin ketemuan sama teman-teman. So, I sent a message on our line group dan -seperti biasa- yang merespon cuma 2 regular hangout buddies saya; L & N. Maka, janjianlah kami untuk brunch hari Rabu di PIM. Kenapa harus brunch? Maybe because the word "brunch" sounds cool. But mostly just because we can. Yup, salah satu keuntungan dari tidak bekerja kantoran 9 to 5 adalah bebas mau sneak out ke mana pun dan kapan pun saya mau - selama keadaan dompet mengizinkan. Jadi sementara kebanyakan orang cuma bisa brunch di akhir pekan, we had the luxury of enjoying a mid-week brunch, di saat mall dan kafe-kafe sedang sepi & tenang, as opposed to the weekends.
Hari Rabu, untuk mengantisipasi kemacetan, saya sudah berangkat dari rumah jam 10 pagi. Eh nggak tahunya, jalanan kosong, dan saya sudah sampai di PIM jam setengah 11 kurang. Yeah, Jakarta's unpredictable traffic... you're either late or early, it's almost impossible to arrive just on time. Karena baru janjian jam 11, terpaksa saya keliling PIM sendirian untuk membunuh waktu.
Setelah keluar masuk toko tanpa tujuan, saya mengecek jam tangan. Jam 11 kurang 10. Time to check up on my brunch companions, they should be arriving soon. So I lined them. Nggak lama, ada jawaban dari N; sudah dekat PIM, sebentar lagi sampai. Good. Berarti tinggal si L. 5 menit nggak ada jawaban. 6 menit, 7 menit. Jam 11 kurang 1 menit, masuk Line dari L.
"Eh hari ini jadi ya? Gue baru mau mandi"
WHAAATT!?
Well I guess I shouldn't have been surprised. Ini L. Kami sudah berteman dari SMP (which is a long long time ago) dan dia tipe anak yang baru sampai sekolah 5 menit sebelum bel masuk lalu celingak celinguk heran lihat anak sekelas nyalin PR atau baca buku catatan dan bertanya dengan polosnya "Emang ada PR ya? " atau "Ada ulangan apa?"
Ya, jadi memang harusnya saya sudah maklum sama kelakuan teman saya yang satu ini. Justru mungkin saya sendiri yang salah karena datang terlalu pagi... padahal sudah tahu janjian sama siapa :P
Nggak lama kemudian N pun sampai. Sadar nggak ada gunanya kesal sama kawan tercinta kami, we shrugged it off, saying "Namanya juga L" dan memutuskan untuk lanjut dengan rencana brunch kami. Kalau nunggu L datang baru makan, namanya bukan brunch lagi, tapi lunch. And it just doesn't sound as cool. Jadi kami melangkah ke Street Gallery AKA PIM 3 untuk mencari tempat makan yang OK. Dan pilihan kami pun jatuh pada Monolog Coffee.
Ketika kami tiba, cafe itu nggak begitu ramai. Nyaris kosong, malah. Pas untuk duduk-duduk makan pagi menjelang siang sambil mengobrol santai.
Kami memilih tempat duduk di pinggir jendela. I love their huge windows! They let in plenty of sunshine; ideal buat pengunjung yang hobi foto-foto. Dengan terangnya sinar matahari, bahkan orang dengan kamera handphone tua seperti saya pun bisa menghasilkan foto yang cukup instagram (or at least blog) - worthy.
Setelah melihat menu beberapa saat, kami memilih menu dari all day breakfast section. I had the eggs bennedict while N chose the omelette set.
Omelette set ( IDR 82K nett) pesanan N di belakang.
Saya lupa tanya gimana rasanya, tapi melihat bagaimana dia menyantap semuanya sampai habis tanpa keluhan apa-apa, I assume it was good, or decent at least.
Sambil menikmati makanan, kami mengobrol ngalor ngidul; tentang hal-hal kecil di keseharian kami, tentang topik-topik berita nasional yang lagi hangat, tentang Jupe dan kanker serviksnya... you know, the usual small talks... Tanpa terasa, makanan di piring sudah hampir habis tersantap, jam pun sudah hampir menunjukkan pukul 12 siang. Still no sign of L. Sampai akhirnya, tepat ketika saya akan menyuapkan potongan english muffin dan ham terakhir ke mulut saya, muncullah dia!
Halleluyah! She made it! right in time for... lunch
xD
Tapi ujung-ujungnya, L nggak pesan makan, sih. Dia cuma pesan minuman bernama "Green Detox" (IDR 48K nett). Yang datang kemudian adalah segelas jus berwarna hijau pekat yang agak tidak membangkitkan selera. Tapi L bilang enak. She let me took a sip, and it was actually quite good. Rasanya segar, kinda lemony, dan - ditilik dari warna dan namanya - I assume it was healthy too.
Setelah L menghabiskan minumannya, kami sepakat untuk menyudahi acara almost-lunch-kind-of-brunch kami untuk lanjut ke agenda selanjutnya : jalan-jalan-di-mall-sambil-lirik-kiri-kanan-siapa tahu-ada-benda-bertanda-diskon-yang-menarik-untuk-dibeli.
Waktu waitress membawa bill ke meja kami, saya menyadari satu hal yang menarik: di Monolog, semua harga yang tertulis di menunya adalah harga NETT tanpa embel-embel tambahan PPN 10% atau service charge lagi. God, how I wish semua restoran di Indo seperti itu! Apa mereka nggak tahu gimana repotnya kalau makan rame-rame lalu pas tagihan datang harus menghitung harga makanan masing-masing plus hitungan pajak & service charge yang ditulis di ujung bawah bill!?
Kalau bisa dibuat praktis seperti di Monolog ini kenapa harus dibuat ribet sih?
Subscribe to:
Posts (Atom)