October 25, 2014

Pulau Dewata - Part 2: Jelajah Nusa Lembongan dan Ceningan

Day 2, 14 Oktober

Satu "penyakit" saya kalau lagi liburan adalah tidak bisa bangun siang! Agak menyebalkan, karena sudah pemahaman umum bahwa liburan adalah saatnya untuk bermalas-malasan,  tidur sampai puas. Dan penyakit ini kembali menyerang saya di Lembongan pagi itu. Entah kenapa , pukul 6 mata saya sudah terbuka lebar dan tak mau terpejam lagi. Nggak tahu mau ngapain, akhirnya saya memutuskan pergi ke luar, dan ketika membuka pintu balkon saya langsung disapa oleh pemandangan yang membuat saya mensyukuri penyakit ini,  for once .
Damainya pagi di Jungut Batu.  
Sayang, kamera saku dan hape tua saya nggak cukup handal untuk menangkap keindahan pemandangan di depan mata saya ketika itu sepenuhnya. 
Pukul 7, teman saya mulai bangun satu per satu. Rampung mandi dan beres-beres, kami menuju restoran hotel di bawah untuk sarapan yang sudah termasuk dalam room rate. Setelah itu, kami sempat jalan-jalan pagi sebentar, menikmati suasana pagi di Jungut Batu sebelum check out dari hotel.




Habis check out, kami langsung tancap gas. Kendaraan kami kali ini adalah 2 motor sewaan; 1 motor sewaan hari sebelumnya dan satu motor yang kami sewa pagi itu dari seorang bapak-bapak penjaga toko dekat hotel yang memberikan harga 60 ribu (dari harga awal 80 ribu) untuk sewa motor sampai pukul 3 sore.
Peta Nusa Lembongan - Nusa Ceningan
Tujuan pertama kami hari itu adalah mangrove forest. Di sana kami sudah janjian dengan seorang warga lokal bernama Pak Juni untuk melakukan mangrove tour jam 10 pagi. Nomor kontak Pak Juni (082144536765) kami temukan dari rekomendasi beberapa blog di internet. Sepertinya beliau memang sudah cukup ngetop di antara pelancong domestik yang ingin melakukan mangrove tour di Nusa Lembongan. Selain orangnya ramah dan cukup informatif saat memberikan tur, harga yang dia berikan juga cukup masuk akal untuk ukuran Lembongan di mana semua harga sepertinya sudah dikatrol menyesuaikan dengan standar bule. Kami mendapat harga 100 ribu berempat untuk tour mangrove selama 20 menit dengan perahu kecil yang dikenal juga sebagai jukung.

Oh iya, sekedar tips, kalau menghubungi Pak Juni, langsung telepon saja, jangan SMS karena si Bapak bilang nggak bisa SMS-an ^^



Kalau kepo sama tampang Pak Juni, itu orangnya di belakang :)

Selesai tur mangrove, kami melanjutkan perjalanan menuju jembatan kuning yang menghubungkan Nusa Lembongan dengan Nusa Ceningan. Perjalanan ke sana, meski tak seberapa jauh, ternyata tak semudah dibayangkan, terutama buat Lidya yang masih super newbie dalam hal permotoran. Medan yang tidak bersahabat untuk pemula dengan jalan-jalan berlubang dan tanjakan/turunan curam membuat kami sedikit sport jantung. Saya yang dibonceng hanya bisa berdoa tak henti-hentinya agar kami selamat sampai tujuan... Semoga keinginan saya menghemat uang dengan memaksa Lidya bawa motor nggak harus dibayar dengan keselamatan kami (>.<)

Untungnya, doa itu dikabulkan. Sekitar setengah jam kemudian, jembatan kuning tujuan kami tampak di depan mata. Dengan semangat, kami pun menyeberang ke Nusa Ceningan.
The Yellow Bridge
Menyeberanginya menjadi tantangan tersendiri karena lantai kayunya yang berderik-derik ketika kita melintas cukup membuat deg-degan untuk pembawa motor pemula -dan orang yang diboncengnya.

Sampai di Ceningan, first thing first; SELFIE!
Selat Ceningan
*Bersambung*

Oke, setelah berminggu-minggu, saatnya melanjutkan cerita yang terputus sebelum saya terlanjur lupa semuanya - just as a future reference for myself.

Jadi, dari jembatan kuning, niat kami melipir ke laguna biru alias Blue Lagoon. Tapi setelah perjalanan +/- 15 menit melalui jalan-jalan berliku, berlubang, naik turun undakan terjal, dan satu kali insiden di mana motor saya dan Lidya terjungkal di tanjakan curam sampai harus dibantu penduduk setempat untuk naik (><), we found ourselves stranded in another beach instead, Secret Point Beach.



As the name suggests, "secret point" ini sepertinya memang bukan pantai umum. Tapi, sama seperti di Dream Beach, kami belagak bodoh saja, numpang lewat halaman belakang Secret Point Huts, mengabaikan tatapan kurang merestui dari orang-orang hotel (Sorry Bli!)


Waktu kami tiba siang itu, pantai kecil ini benar-benar sepi dari pengunjung. Indah dan tenang, rasanya seperti pantai milik kami sendiri! (kalau kita mengabaikan tatapan menghujam orang hotel di punggung kita...)
Sayang, terik matahari yang begitu sadis dan keterbatasan waktu membuat kami tak bisa berlama-lama. Habis leyeh-leyeh sebentar, kami memutuskan langsung kembali ke Nusa Lembongan untuk mencari makan siang.

Maka kembalilah kami menaiki motor, melewati perkampungan petani rumput laut, menikmati pemandangan laut biru yang cantik di sepanjang jalan, daaan sempat jatuh *lagi* waktu menyeberang jembatan kuning (kali ini tanpa ada yang membantu. Special shout-out buat Lidya, si wanita perkasa yang -walau jatuh bangun-berhasil membawa kami bolak balik dengan selamat tanpa kekurangan satu bagian tubuh pun :D).

Random view di Nusa Ceningan dari atas motor
Common view di Nusa Lembongan & Ceningan; hamparan rumput laut yang dijemur.
Budidaya rumput laut merupakan mata pencaharian utama penduduk kedua pulau ini- selain bisnis pariwisata yang bertumbuh pesat, tentunya
Kembali di Nusa Lembongan, karena masih penasaran kami mencoba mendatangi warung Bumbu Maria lagi. Tapi, mungkin memang nggak jodoh, lagi-lagi kami menemukan tanda "CLOSED" terpasang di depan pintunya. Kecewa, terpaksa kami cari tempat lain untuk mengisi perut. Akhirnya, pilihan kami jatuh pada "BALI ECO DELI" yang namanya saya ingat disebut sebagai one of Nusa Lembongan's top 10 restaurants di Tripadvisor.

Sesuai tagline-nya, "Healthy food and drinks in paradise", tempat ini menyajikan makanan yang 100 % sehat & organik. Saya sih tidak keberatan makan makanan sehat every once and a while, tapi begitu membuka menu dan menemukan bahwa makanan paling "berat" yang tersedia adalah SALAD (dalam beragam variasi), kami tahu bahwa kami harus mencari tempat lain untuk memenuhi tuntutan cacing-cacing carnivora di dalam perut. Jadi, di sini kami hanya memesan jus & smoothies. Saya sendiri memilih tropical smoothies (30K) plus sepotong brownies (20K).


Dan di luar dugaan, satu gelas smoothies dan sepotong brownies ini sudah cukup mengenyangkan buat saya! Akhirnya, waktu 3 teman saya memutuskan bergeser ke Warung Made di sebelah untuk "makan betulan", saya hanya numpang duduk & minum.

[Review lengkap saya tentang Bali Eco Deli bisa dibaca di TRIPADVISOR]

Habis makan, karena sudah kepanasan, kelelahan, dan tidak punya banyak waktu lagi, kami kembali ke hotel untuk menunggu pick up service dari Sugriwa Express sambil menikmati pemandangan "SANTORINI Ala Ala Bali" untuk terakhir kalinya.



Sekitar pukul 3 lewat kami sudah dijemput dan dibawa ke kantor Sugriwa Express untuk menunggu boat yang akan membawa kami kembali ke Pulau Bali.


Pukul 16:00, saatnya mengucapkan selamat tinggal pada Nusa Lembongan. Fastboat kami perlahan bergerak menjauhi bibir pantai, menandai dimulainya kembali 30 menit perjalanan mengarungi laut yang penuh guncangan dan cipratan air.

Pulau Dewata, here we come!!

October 19, 2014

Pulau Dewata - Part 1: Menginjak Nusa Lembongan

Sebenarnya, setelah perjalanan ke Jepang akhir Juni - awal Juli lalu, saya bertekad untuk tidak pergi ke mana-mana lagi sisa tahun ini. Ya, sehemat-hematnya mengatur budget, perjalanan ke negeri sakura selama 9 hari itu memang cukup menguras tabungan. Jadi demi kesehatan finansial dan tekad menabung untuk ultimate goal saya; Euro trip, saya berencana untuk anteng saja di Jakarta sampai tahun depan.

Namun, rencana tinggal rencana…

Ketika teman saya Echa mendadak mengajak liburan ke Bali, mulut saya dengan cepat mengatakan “Ayo!” sebelum otak sempat mengirimkan sinyal berhenti. I just couldn’t help myself. Godaan untuk keluar dari sesaknya keseharian di kota Jakarta terlalu kuat untuk dilawan.

Nah, kebetulan, sebelum ada ajakan dari Echa, saya dan teman-teman di sini sudah sempat membicarakan soal liburan bareng ke pulau di sebelah tenggara Bali, Nusa Lembongan. Saya pikir, daripada berangkat 2 kali ke Bali, lebih baik 2 trip itu digabung saja sekalian. Jadi, saya usul ke Echa untuk memasukkan 1 malam di Nusa Lembongan ke dalam itinerary kami. Setelah Echa setuju, saya coba menyinggung rencana perjalanan ini ke teman-teman di sini. Dan gayung bersambut, Lidya dan Negis tertarik. Jadi, diputuskanlah untuk pergi berempat ke Pulau Dewata!

Perjalanan kami pada 13 Oktober lalu berawal dengan penerbangan Airasia pukul 08:45 pagi yang - tumben-tumbenan- berangkat 100% tepat waktu dari Bandara Soekarno Hatta. Penerbangan selama 1 jam 40 menit berjalan mulus, nyaris tanpa kejadian istimewa, kecuali ketika tiba-tiba, out of nowhere, muncul dua orang pria (sepertinya crew airasia yang sedang off duty) yang mulai menyanyi dengan iringan gitar di bagian depan kabin layaknya pengamen di bus kota. Oke, mungkin ini maksudnya sejenis in flight entertainment. Niatnya patut dihargai, tapi lain kali mungkin mereka bisa menampilkan someone who can actually sing... just a suggestion :D

Anyway, akhirnya kami tiba di bandara Ngurah Rai, Bali! 
Sempat pangling saya waktu menjejakkan kaki ke area kedatangannya. Yang masih melekat di ingatan saya adalah bandara tua nan usang seperti yang terakhir kali saya lihat tahun 2009. Tapi ternyata setelah proses renovasi dan reopening awal tahun ini, Bandara Ngurah Rai sekarang jadi jauh lebih keren, layak disebut bandara internasional. Good job Angkasa Pura! Jadi iri. Kapan ya giliran Jakarta…

Oke, dari Ngurah Rai, kami meluncur ke tempat penyeberangan di Sanur. Perjalanan melalui tol Mandara tidak memakan waktu lama, kurang lebih 30 menit kami sudah tiba di pantai Sanur yang dipenuhi kantor-kantor penyedia jasa penyeberangan ke Nusa Lembongan. Berdasarkan hasil online research sebelumnya, kami langsung mengarah ke kantor Sugriwa Express. Di sana kami dapat harga Rp 75 ribu sekali jalan untuk fastboat ke Nusa Lembongan. Itu harga "lokal indonesia". Kalau "lokal bali", harganya lebih murah : Rp 50 ribu. Sedangkan turis bule harganya berlipat-lipat, kalau tidak salah sekitar 550 rb pp (!) Yep, that's Bali!
Fastboat Sugriwa Express

Sesuai Jadwal, fastboat kami meninggalkan Sanur pukul 13:30. Oh iya sebelum naik kapal, semua penumpang diminta melepas alas kaki untuk dikumpulkan dalam satu keranjang. Mungkin supaya kebersihan di dalam kabin tetap terjaga. Selain itu, semua koper / tas besar juga dikumpulkan dan diangkut staff sampai ke dalam kapal. Jadi tidak perlu takut ribet kalau bawa koper yang agak besar sekalipun.


Foto di atas diambil waktu kita baru mulai duduk di dalam boat. Semua masih ceria, semangat foto-foto... sampai boat mulai bergerak meninggalkan bibir pantai dan diombang-ambingkan ombak tinggi. Jangankan foto-foto, sekedar menikmati pemandangan laut biru di luar pun rasanya sudah nggak sanggup. Apalagi, dengan polosnya kami memilih tempat duduk di deretan depan. Aduh, perut seperti dikocok-kocok. Rasanya semacam naik wahana jet coaster mini di taman hiburan, tapi dengan durasi 30 menit. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya saya melirik jam, berharap setengah jam cepat berlalu, sambil terus mencengkeram erat life vest yang dimasukkan di saku kursi depan... you know, just in case... (>.<)

Puji Tuhan, sekitar 30 menit kemudian, kami tiba di Pantai Jungut Batu, Nusa Lembongan dengan selamat. Dan ajaibnya, tidak ada yang mabuk laut sepanjang perjalanan, not even me! :D
Dari pantai, kami diarahkan ke kantor Sugriwa Express di dekat sana untuk menunggu mobil yang akan membawa kami dan penumpang lain ke penginapan masing-masing. Tak lama menunggu, diantarlah kami ke penginapan kami untuk malam itu : Lembongan Reef Bungalow.

Lembongan Reef Bungalow ini kamarnya berupa vila-vila di atas bukit, semakin besar nomor vilanya, semakin jauh kita harus mendaki anak tangga. Kebetulan kami memesan family room kapasitas 4 orang dan mendapat villa nomor 7, jadi kami harus memanjat naik lumayan tinggi. Tapi melihat pemandangan dari balkon kamar kami, semua kepenatan terbayar tuntas. 

Surga membentang di depan mata!
Vila-vila di Lembongan Reef Bungalow
Habis menaruh barang dan menghela napas sebentar, kami tak membuang-buang waktu untuk mulai menjelajah pulau. Di resepsionis, kami bertanya moda transportasi apa yang bisa kami pakai. Mas di sana menyarankan menyewa sepeda motor karena menyewa mobil terlalu mahal (800 ribu / hari!!). Nah susahnya kalau pakai motor, di antara kami berempat cuma Echa yang bisa bawa motor. Akhirnya setelah bingung-bingung kami memutuskan untuk menyewa satu motor dan 2 ojek. Mas resepsionis pun mengatur penyewaan motor dan ojek itu. Masalah kemudian adalah harga. Untuk motor kami mendapat harga 100 ribu untuk 24 jam beserta bensinnya (yang kemudian baru kami tahu kalau seharusnya masih bisa ditawar lagi, terutama kalau kita menyewa dari luar hotel). Tapi untuk ojeknya, mereka meminta harga 150 ribu per motor hanya untuk ke 2 spot saja!! Setelah proses tawar menawar yang alot, mereka cuma mau turun sampai harga 100 ribu per motor... karena merasa tidak ada pilihan lain,  dan capek berdebat lebih jauh, akhirnya kami menyerah. (lagi-lagi baru kemudian kami sadar bahwa kita bisa mendapat harga jauh lebih murah dari orang-orang di pinggir jalan, bukan melalui hotel).

Spot pertama yang kami tuju adalah Warung Bumbu Maria, yang di tripadvisor disebut sebagai warung terbaik di Nusa Lembongan. Tapi sedihnya, sudah jauh-jauh (dan mahal-mahal menyewa ojek), waktu tiba di sana ternyata warungnya tutup. Ya sudah, dengan menelan kecewa, terpaksa kami lanjut ke spot berikutnya : Dream Beach. 

Perjalanan dari Warung Maria ke Dream Beach tidak terlampau jauh (biarpun mas ojeknya berkeras bayar 100 ribu itu murah karena lokasinya "dari ujung ke ujung", pada dasarnya Nusa Lembongan itu sendiri memang tidak terlalu besar, jadi "dari ujung ke ujung" nya mereka pun paling cuma beberapa kilometer. Malah saya menyaksikan sendiri ada bule yang bisa keliling pulau berjalan kaki! That's how small the island is, meski saya sendiri nggak akan pernah mempertimbangkan jalan kaki berkilo-kilo meter di bawah terik matahari yang begitu menusuk.).

Di perjalanan kami sempat melewati Panorama Point dengan pemandangannya yang indah.
Panorama Point, d iambil dari atas ojek yang melaju kencang


This is how we roll in the island!
Notice we didn't wear helmets! Bukan karena nggak mau, tapi memang nggak disediakan :(
DO NOT TRY THIS AT HOME!
Tak lama, kami tiba di Dream Beach. Meski ini sebenarnya pantai umum, akses masuk ke pantai tersebut cuma ada 1, yaitu melalui kafe di sana. Entah apakah seharusnya kami memesan minum di sana sekedar untuk "biaya lewat" atau tidak, tapi kami memutuskan untuk bermuka tebal dan numpang lewat begitu saja, mengacuhkan tatapan staf kafe, langsung menuju pantai.



Kafe yang kami lalui untuk masuk ke area pantai
Area pantai dream beach memang tidak besar, tapi tempatnya sepi (mungkin juga karena kemarin sedang low season), pasirnya putih, dan airnya jernih mengundang. Menyenangkan untuk duduk berlama-lama memandangi ombak di bawah bayangan batu karang besar yang menghalangi sengatan matahari.





Puas bermain-main di pantai, kami  berjalan kaki ke destinasi selanjutnya tak jauh dari sana, Devil's Tear.




Ombak tinggi berderu-deru menghantam tebing karang. Dahsyat! Kalau lihat foto-foto di instagram, sepertinya kita bisa mendapat foto spektakuler dengan berdiri atau duduk di tepi tebing, berlatar deburan ombak. Tapi karena saya tidak bisa berenang dan parno melihat tingginya ombak, saya memilih  berdiri di jarak aman dan foto-foto dari jauh saja. Safety first, right?! O

Sambil istirahat di dekat Devil's Tear, kami sempat mendiskusikan soal transportasi hari berikutnya. Kalau hari ini untuk 2 spot saja kami harus bayar 100 rb / ojek, bagaimana besok kalau mau jalan-jalan seharian? Kemudian, entah bagaimana, Echa dapat ilham; kita suruh Lidya belajar naik motor supaya besok tinggal sewa motor! Jadilah Lidya langsung kursus kilat naik motor dari Echa di sana saat itu juga. Mungkin memang dasarnya bakat nyetir (?), tidak berapa lama, Lidya sudah bisa mengendarai motor meski masih sedikit oleng dan ragu-ragu... But that's good enough for us, daripada bayar ojek mahal-mahal.  Kita anggap Lidya sudah bisa naik motor, besok tinggal sewa motor dan saya dibonceng. Done deal! Apparently, in this case, money beats safety :D 

Selesai di Devil's Tear, kami telepon tukang ojek yang tadi untuk minta dijemput kembali ke daerah penginapan kami di Jungut Batu. Meski katanya sunset di Dream Beach cukup mengagumkan, kami memilih mengejar sunset sambil duduk-duduk cantik di The Deck, tak jauh dari Lembongan Reef Bungalow.




Pesanan kami; pizza margherita dan 2 cocktails yang sedang harga spesial Happy Hour, selain itu juga ada 2 jus pesanan Echa & Negis. Harga di tempat ini memang tergolong mahal, tapi layak untuk sekedar mencari pengganjal perut sambil duduk-duduk menikmati suasana dan pemandangan.
Cocktail : 100K. This breathtaking view: priceless!
Ketika pesanan kami habis tersantap, semburat merah sudah mewarnai langit. Matahari perlahan menghilang di balik garis laut. Perut pun mulai keroncongan. Memang, sepotong pizza margherita dan satu gelas cocktail tidak mungkin mengenyangkan. Jadi, setelah "makan pencitraan"  ini, kami beranjak pergi mencari makan yang mengenyangkan dengan harga yang lebih bersahabat. 

Maka, berjalanlah kami menyusuri pantai Jungut Batu. 


Senja di pantai Jungut Batu

Hingga tibalah kami di warung kecil bernama Warung Meal House 99 

Warung with a view

Sembari menikmati sisa-sisa senja, kami menyantap nasi campur dan babi sayur di warung tersebut sebagai makan malam. Rasanya -meski nggak istimewa- cukup memuaskan, harganya terjangkau (untuk ukuran warung di Lembongan di mana semua harga sepertinya disesuaikan dengan standar turis asing), plus dapat bonus pemandangan senja yang cantik. I really can't complain.

Selesai makan, langit sudah benar-benar gelap. Perut kenyang, badan pun sudah lengket oleh keringat dan udara laut yang bergaram, we decided to call it a day. Saatnya kembali ke hotel untuk beristirahat. 

*Review saya tentang hotel Lembongan Reef Bungalow yang sedikit mengecewakan karena masalah pendingin ruangan yang tidak bekerja bisa dilihat di tripadvisor